Tentang Almarhum Bapak

Akhirnya menulis lagi. Sejak bapak meninggal tanggal 25 Juni yang lalu, semangat ngeblog dan motret sempat hilang. Bukan karena sedih yang berkepanjangan, sama sekali bukan. Saya termasuk orang yang sulit bersedih, ataupun bergembira, iya saya memang aneh. Mungkin semangat saya hilang karena ngerasa kehilangan panutan. Mungkin.

Hari ini saya paksakan kembali ngeblog. Kebetulan di luar sana ada musibah anaknya artis yang terlibat laka lantas dan menghilangkan nyawa 6 orang, kemudian banyak orang di media sosial mengaitkan kejadian itu dengan pola asuh. Saya jadi teringat cara bapak mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.

 Artikel ini saya dedikasikan untuk bapak.

Kalau bercerita tentang bapak, banyak sekali kisah yang menarik. Bapak itu individu yang unik. Saya beruntung punya ayah seperti beliau. Sebagai anak bungsu, saya juga beruntung karena ketika saya memasuki usia remaja, bapak sedang menjalani masa yang bagus dalam karirnya sebagai tentara.

Saya nggak ngerasain masa di mana bapak harus menjual beberapa barang agar keluarganya bisa makan enak. Atau masa ketika kami menggunakan peti kargo sebagai meja makan karena kami memang nggak sempat membeli furniture saking seringnya bapak berpindah tugas. Seingat saya, kami berpindah 8 kota selama saya bersekolah di sekolah dasar. Seru deh pokoknya. Cerita yang senada bisa dibaca di tulisan tahun 2010 ini.

Kalau cuma jarang ketemu bapak di rumah mah biasa. Ngambil rapor diwakilin orang lain juga udah sering. Ulang tahun sendirian di rumah karena bapak dan ibu tugas peninjauan ke pedalaman juga pernah. Jadi anak tentara memang banyak gak enaknya. Itu kalau mau jadi tukang ngeluh.

Untungnya, bapak gak pernah memberi contoh cara mengeluh selama hidupnya. Jadi saya pun selalu menikmati masa kecil dalam segala kondisi. Oh iya, soal ’keluhan’ itu, bapak memang betul-betul jarang mengeluh. Bahkan ketika dalam kondisi kritis beberapa bulan sebelum meninggal, bapak masih terlihat menikmati hidupnya.

Beliau mulai sering mengeluh, mengaduh dan mengerang saat beberapa minggu sebelum meninggal. Itu pun karena, kata dokter, kondisi bagian dalam tubuhnya hanya berfungsi sekitar 60%. Di luar itu, saya sangat jarang melihat beliau berkeluh kesah. Selama saya bolak-balik ke rumah sakit, saya sama sekali nggak ngerasa berat merawat bapak yang dalam kondisi sakit keras.

Mungkin penyebab bapak jarang mengeluh karena beliau memang orang yang pendiam. Bapak pendiam, tapi saya justru bisa banyak bercanda dengan beliau. Rasanya puas banget saat bercanda dengan bapak sampai beliau melempar kalimat ”Rupamu…” saking sebelnya dengan candaan saya.

Beliau jarang marah, tapi saya justru lebih segan dengannya dibanding dengan ibu. Iya saya segan terhadap beliau, tapi justru saya lebih terbuka dan bisa bercerita segala macam dengannya. Itu keunikan bapak. Aneh buat saya, tapi itu yang coba saya pelajari dari beliau selama ini. Dan ternyata susah.

Banyak sekali perkara sulit yang bisa diselesaikan bapak dengan sederhana. Misalnya saat bertugas di Papua, dulu namanya Irian Jaya, banyak sekali konflik antara aparat dengan OPM. Juga masalah internal antar aparat, bentrokan antara anggota TNI dan Polisi sering terjadi di sana. Sampai sekarang pun masih.

Selama bapak bertugas di sana, banyak anggota OPM yang turun gunung dan bergabung dengan NKRI. Kemudian untuk kasus-kasus bentrok antar aparat pun bisa dikurangi bahkan nyaris hilang. Salah satu cara yang digunakan bapak nggak njelimet tuh. Suatu kali, saat ada upacara gabungan TNI-Polri, bapak bertukar mobil dinas dengan Kapolda. Jadi ketika sampai ke lokasi acara itu, banyak yang terkejut.

Ini tindakan sederhana, tapi efeknya terasa bagi para prajurit. Bapak sebagai panglima berhasil menunjukan bahwa semua aparat itu sama, gak ada yang lebih tinggi. Semua sejajar, cuma beda seragam dan tugas aja.

Jaman masih ABRI dulu kan banyak yang beranggapan bahwa TNI AD itu rajanya semua angkatan dan polisi berada di kasta terendah. Dengan menaiki mobil polisi, bapak berhasil nunjukin kalau ’gengsi’ itu gak ada. Simpel ya?

Banyak cerita tentang bapak, tapi semua cerita itu tidak saya dengar dari beliau. Biasanya saya dengar dari kawannya, dari ajudannya atau dari mantan anak buahnya. Bapak mulai sering bercerita justru setelah beliau pensiun.

Beliau pernah bercerita tentang anak penguasa negeri yang marah karena dilarang oleh bapak berceramah di salah satu universitas ternama di Jawa Tengah saat bapak menjabat Panglima Kodam Diponegoro. Si anak itu mengadu ke ayahnya, kemudian bapak dapat teguran. Waktu itu bapak menanggapi dengan santai, kata beliau, mending aku dapet teguran daripada harus meredam protes mahasiswa di kampus yang terkenal vokal itu.

Ya mahasiswa mana yang gak protes kalau orang yang gak lulus kuliah mau ngasih ”ceramah” tentang arsitektur?

Sifat bapak memang tegas kalau sudah urusan dinas. Mungkin ini juga yang kemudian menghambat karir beliau. Bapak termasuk yang berhasil mendapat bintang di usia muda dalam angkatannya, tapi kemudian terbuang di akhir masa dinasnya. Itupun beliau gak pernah ambil pusing.

Bapak gak pernah ngotot cari jabatan, beliau cuma berusaha bekerja sebaik mungkin selama bertugas. Kalau kemudian dapat penghargaan ya alhamdulillah, kalau nggak, ya namanya tugas kan memang harus dijalani dengan baik. Bukan berharap imbalan. Ini juga pelajaran berharga dari bapak.

Kami juga selalu diajari hidup sederhana. Ketika beliau menjadi perwira tinggi pun kami tetap dididik tentang kesederhanaan dan tanggung jawab. Misalnya saat SMA, saya diberi mobil, tapi kewajiban mencuci dan merawat mobil ada di tangan saya. Saya juga tetap didorong belajar naik angkutan umum. Jadi ya pernah juga ngerasain dipalak puluhan siswa dari suatu sekolah saat nunggu bis di  Kalibata, nikmat deh pokoknya. Belajar hidup, kata bapak saat itu.

Dari ajaran dan didikan beliau itu saya jadi saya yang sekarang ini. Kalau saat ini saya belum jadi ”orang”, itu karena kebebalan saya sendiri. Bukan karena kesalahan orangtua yang super sibuk.

Pernah suatu kali saya dengar celetukan seorang kawan tentang saya, dia bilang, ”Itu si Ragil dulu anak pejabat penting, sekarang hidupnya biasa aja, malah gue yang anak orang biasa, udah punya kerjaan dan jabatan yang jauh lebih penting dari dia”. Saya ngikik sajalah.

Bapak pernah bilang, punya jabatan itu gak terlalu penting, yang penting adalah gimana kerjaanmu itu bisa bermanfaat buat orang lain.

Sampai menjelang akhir hidupnya pun bapak masih bersikukuh dengan kesederhanaannya, bapak pernah berpesan bahwa dia tidak mau dimakamkan di TMP Kalibata dan bahkan menolak segala prosesi upacara kemiliteran.

Maka saat beliau meninggal, kami memilih TPU Pondok Ranggon untuk rumah terakhirnya. Tanpa embel-embel upacara. Eh ngomong-ngomong, upacara pemakaman secara militer itu pihak keluarga harus bayar lho. Rempong yes?

Sekarang bapak sudah nggak ngerasain sakit lagi, sudah tenang di alam kubur. Menit-menit menjelang beliau menghembuskan nafas terakhir itu betul-betul tenang dan romantis. Kami semua menunggui beliau di saat terakhirnya, kecuali kakak lelaki saya yang masih dalam perjalanan dari Semarang.

Bapak insya Allah husnul khotimah, bahkan ketika disemayamkan di rumah, wajah bapak seperti tersenyum. Itu yang menghapus kesedihan saya. Entah bagi kakak-kakak saya, di grup whatsapp sih masih suka pada cerita sedih. Ya mungkin dosa mereka ke bapak lebih banyak dibanding saya, kan mereka hidup lebih dulu dari saya, hahaha. Jadi wajarlah kalau sedihnya lebih banyak dari saya (semoga kakak-kakak gak ada yang baca blog ini, saya bisa kena jewer nanti).

Tapi cukuplah bersedihnya, tugas kami sekarang adalah mendoakan beliau agar bahagia di sana dan juga melanjutkan ajaran-ajaran beliau. Semoga saya bisa sehebat beliau, memang bapak punya banyak kekurangan sebagai manusia, tapi dia nyaris sempurna sebagai ayah saya. Semoga saya juga bisa menjadi ayah yang baik bagi anak saya.

A truly great man never puts away the simplicity of a child. - Confucius
A truly great man never puts away the simplicity of a child. – Confucius

Semoga bapak sekarang sudah bahagia di sana ya, pak. Gak ribet lagi ngurusin anak-anak yang nakal ini dan gak kewalahan lagi ngadepin cucu-cucu yang pecicilan itu. Kangen.

6 Comments

  1. Saya ngerasain betapa om ragil ini amat teramat kehilangan sosok ayah yang bagi saya sangat “Fatherable” banget (bener ga sih nulisnya?). Ngiri juga sih sebener nya :’)

    eniwey, migrasi web yak? ntar nyusul deh. hehe

    Like

Silakan ngobrol di kolom ini